Yang disayangkan, menurut Prof. Bagong, adalah ketika konten kreator mulai mengeksploitasi orang tua mereka atau orang-orang yang tidak berdaya demi keuntungan pribadi. Ia menyebut ini sebagai tindakan yang tidak bisa diterima.
“Ini masuk dalam kategori eksploitasi. Bukan karena keterpaksaan, tetapi justru memanfaatkan penderitaan orang lain untuk memperkaya diri sendiri,” tegas Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR ini.
Fenomena mengemis online yang melibatkan lansia di TikTok semakin menjadi perhatian masyarakat luas. Namun, tidak seperti pengemis jalanan yang bisa ditindak oleh Dinas Sosial atau Satpol PP, tindakan serupa sulit dilakukan terhadap pengemis online.
Prof. Bagong mengimbau masyarakat untuk tidak mendukung atau menonton konten-konten semacam ini. Ia juga berharap pemerintah dan masyarakat dapat bersikap adil, tanpa memberikan stigma negatif kepada orang miskin yang memang membutuhkan bantuan.
Menurutnya, tidak semua pelaku mengemis online dapat diperlakukan sama. Ada yang melakukannya karena terpaksa untuk bertahan hidup, dan mereka seharusnya tidak disalahkan. Penindakan seharusnya lebih diarahkan kepada mereka yang mengeksploitasi masyarakat miskin demi keuntungan pribadi.
“Kita harus mampu membedakan, mana yang melakukannya karena kebutuhan hidup dan mana yang hanya memanfaatkan situasi. Kalau artis membuka donasi, kenapa tidak dipermasalahkan? Sedangkan orang miskin langsung dikecam,” tambahnya.