Ia juga menyoroti bahwa masyarakat cenderung lebih bersimpati ketika melihat penderitaan. Semakin ekstrem aksi yang dilakukan, semakin besar kemungkinan orang akan memberikan donasi.
Namun, yang disayangkan oleh Prof. Bagong adalah ketika konten kreator mulai mengeksploitasi orang tua mereka atau orang yang tidak berdaya demi keuntungan pribadi. Ia menilai tindakan tersebut sebagai eksploitasi yang tidak bisa dibenarkan.
“Ini adalah eksploitasi yang dilakukan bukan karena keterpaksaan, melainkan untuk memperkaya diri sendiri dengan memanfaatkan penderitaan orang lain,” jelasnya.
Fenomena ini juga menjadi perhatian luas di masyarakat, khususnya yang melibatkan lansia di TikTok. Namun, berbeda dengan pengemis jalanan yang dapat ditindak oleh pihak berwenang, tindakan hukum untuk pengemis online lebih sulit dilakukan.
Prof. Bagong mengimbau agar masyarakat tidak mendukung atau menonton konten-konten semacam ini. Ia berharap agar ada sikap adil dari pemerintah dan masyarakat dalam menanggapi fenomena ini, tanpa memberikan stigma negatif kepada orang miskin yang benar-benar membutuhkan bantuan.
Menurutnya, penting untuk membedakan siapa yang mengemis karena kebutuhan hidup dan siapa yang mengeksploitasi situasi untuk keuntungan pribadi. “Kalau artis membuka donasi, tidak dipermasalahkan. Tapi kenapa orang miskin yang melakukan hal serupa justru langsung dikecam?” tutupnya.